Rabu, 12 Oktober 2016

Sejarah Sampang


Jauh sebelum berdirinya kerajaan-kerajaan ke daratan Madura, sekitar abad ke 7 M atau tepatnya pada tahun 835 M, di wilayah Kabupaten Sampang sudah ditemukan adanya komunitas masyarakat. Komunitas ini masih belum berstruktur dan masih berupa padepokan agama Budha dengan seorang “resi” sebagai titik sentralnya.
Menurut Drs Ali Daud Bey, salah seorang ahli sejarah di Sampang, hal ini dapat diketahui lewat temuan “Candra Sangkala” di situs sumur Daksan, Kelurahan Dalpenang, Sampang oleh para pakar sejarah dan arkeologi dari Mojokerto dan UGM Yogyakarta, yang dibantu oleh para pini sepuh dan ahli sejarah dari Sampang sendiri.
Tetapi sayangnya, menurut Daud, keberadaan Candra Sangkala yang menjadi pride (kebanggaan) masyarakat Sampang tersebut, tidak didukung oleh adanya temuan prasasti yang menggambarkan aktivitas masyarakat saat itu, sehingga tidak banyak memberikan informasi yang cukup berarti mengenai kondisi dan situasi yang terjadi pada waktu itu.
Namun, berdasarkan tulisan-tulisan para ahli sejarah dan kepurbakalaan Belanda, yang sampai saat ini masih dijadikan referensi oleh para pakar sejarah dan arkeologi Indonesia, terungkap beberapa aktivitas masyarakat pada masa kurun waktu yang terdapat pada Candra Sangkala tersebut.
Candra Sangkala yang ditemukan di situs sumur Daksan Kelurahan Dalpenang tersebut berbunyi: Kudok Alih Ngrangsang Ing Buto, artinya Kudok = 7 Alih = 5 Ngrangsang = 7 Ing = tahun dan Buto = tahun Caka. Berarti, 757 tahun Caka atau sama dengan 835 M.
Menurut para pakar sejarah, komunitas masyarakat seperti ini terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Cailendra abad ke 7 M. Waktu itu komunitas masyarakatnya tidak berstruktur, berkelompok menjadi satu padu, dan biasanya dipimpin oleh seorang “resi” yang dijadikan sebagai titik sentral dalam mengajarkan agama Budha kepada anggota kelompoknya. Candra Sangkala yang lain, ternyata juga ditemukan di situs bujuk Nandi, Desa Kemuning, Kecamatan Kedundung, Sampang. Situs itu berbunyi: Nagara Gata Bhuwana Agong, artinya Nagara = 1 Gata = 3 Bhuwana = 0 Agong = 1. Berarti, 1301 tahun Caka atau sama dengan 1379 M.
“Candra Sangkala yang ditemukan di situs bujuk Nandi ini menunjukkan paduan kelompok masyarakat yang menganut agama Syiwa. Mereka biasanya membangun pusat peribadatannya berbentuk candi, dengan lambang ‘nandi’ atau lembu sebagai kendaraan raja Syiwa yang diagungkan. Sedangkan resinya, bernama Durga Mahesasura Mardhini,” jelas Ali Daud Bey.
Komunitas masyarakat seperti ini, menurut para pakar sejarah, terjadi pada masa pemerintahan Daha dan Kediri abad 12 M. Pada waktu itu, komunitas masyarakatnya sudah berstruktur namun tidak jelas, karena tidak ditemukan referensi pendukung secara tertulis seperti prasasti. Tetapi, yang berhasil ditemukan hanya Sangkala “Memet” yang menunjukkan adanya padepokan agama Syiwa dan Budha, sekitar tahun 1379 M sampai 1383 M.
Kejayaan Mojopahit Sampai Masa Kekuasaan Mataram
Pada saat Kerajaan Mojopahit sedang mengalami masa kejayaannya, pengaruh keberadaan kerajaan yang terletak di Kabupaten Mojokerto itu terekam di Sampang. Ini bisa dilihat dari ditemukannya Candra Sangkala di situs Pangeran Bangsacara Takobuh, Kelurahan Polagan Sampang. Candra Sangkala tersebut, berupa angka 1305 tahun Caka yang tertoreh di sebuah batu berukir, yang berarti sama dengan tahun 1383 M. Angka tersebut menandakan tahun berdirinya sebuah candi Budha dengan relief rangkaian cerita Pangeran Bangsacara Ragapadmi. Isinya sarat dengan pesan-pesan pendidikan moral dan agama.
Menurut para pakar sejarah, komunitas masyarakat seperti ini sudah mulai berstruktur walaupun statusnya mudah sekali berubah-ubah. Biasanya diawali dengan Kamituwo, lalu menjadi Kademangan, setelah itu berubah menjadi Padukuhan, dan akhirnya berubah menjadi sebuah Kerajaan.
Sedangkan referensinya masih berupa pitutur lisan, tetapi sudah ada yang sebagian sempat menulis pada generasi kelima setelah komunitas tersebut atau sekitar 300 tahun setelahnya.
Berdasarkan bukti-bukti sejarah, raja Madura pertama yang sempat memerintah saat itu adalah Ario Lembu Peteng sekitar abad 14 M. Dia adalah putra dari Prabu Brawijaya V (Stamboom Van Het Geslachi Tjakra Adi Ningrat, hal 79). Lalu, berturut-turut kerajaan Madura diperintah oleh Ario Menger, Ario Patikal, Nyai Ageng Boedo dan yang terakhir adalah Kiai Demong sekitar tahun 1531 M.
Saat pemerintahan dipegang oleh Kiai Demong, sekitar tahun 1531-1623 M, istana kerajaan Madura yang awalnya berada di Madegan Polagan Sampang, dipindah ke Pelakaran Arosbaya Bangkalan. Tetapi, sekitar tahun 1623 M ketika Madura berhasil ditaklukkan oleh kerajaan Mataram, istana kerajaan dipindahkan kembali ke Madegan Polagan Sampang.
Menurut bukti-bukti sejarah, kiai Demong merupakan salah satu raja-raja keturunan Majapahit yang sudah memeluk agama Islam. Ia adalah kakek dari Panembahan Lemah Duwur (1531-1592), yang kemudian dikenal sebagai pendiri masjid Madegan Polagan Sampang, yang sampai saat ini masih dikramatkan oleh sebagian besar masyarakat, sehingga sering dijadikan tempat melakukan sumpah pocong oleh hampir semua kalangan.
Panembahan Lemah Duwur dikenal sebagai seorang raja yang berjasa meletakkan dasar-dasar kepemimpinan Islam di Madura, khususnya di Kabupaten Sampang. Ia adalah ayah dari Pangeran Tengah (1592-1621) yang beristerikan Ratu Ibu I, yang sampai saat ini makamnya berada di makam raja-raja Madegan Polagan Sampang.
Sedangkan Pangeran Tengah adalah ayah dari Raden Praseno yang dikenal sebagai Pangeran Cakraningrat I (1624-1648), yang juga menantu kesayangan dari Sultan Agung. Sebab, selain beristrikan Ratu Ibu II, salah satu puteri Sultan Agung, ia merupakan salah seorang panglima perang Mataram yang sangat handal, sehingga ia dimakamkan di makam raja-raja Imogiri Yogyakarta.
Sementara itu, Candra Sangkala lain juga ditemukan di situs Pangeran Santomerto. Candra Sangkala itu menunjukkan tahun Caka wafatnya Pangeran Santomerto yang juga dikenal sebagai paman Raden Praseno, yang mengasuhnya sejak kecil setelah Pangeran Tengah (ayahanda R. Praseno) gugur dalam pertempuran. Candra Sangkala ini berupa kayu berukir angka dengan memakai hurup Arab yang menunjukkan tahun Caka 1496 atau sama dengan tahun 1574 M.
Raden Praseno Jadi Pijakan Hari Jadi Kota Sampang
Candra Sangkala kelima adalah Candra Sangkala yang terukir di daun pintu sebelah kiri pada Gapura Agung makam Ratu Ibu I yang ada di Madegan Kelurahan Polagan, Sampang. Candra Sangkala ini berupa relief berbentuk ulang naga yang terpanah tembus dari kepala sampai ekor. Pakar sejarah membaca Naga Kapanah Titis Ing Midi sebagai angka 1546 Caka atau sama dengan 1624 M.
Ratu Ibu I adalah istri Pangeran Tengah. Dia juga ibu kandung Raden Praseno. Sedangkan angka tahun 1624 M menandakan tahun diangkatnya Raden Praseno oleh Sultan Agung menjadi Raja Mataram pertama yang berkuasa di wilayah Madura Barat dengan gelar Cakraningrat I yang memerintah dari tahun 1624 M sampai 1648 M. Berdasarkan bukti-bukti sejarah, pengangkatan Raden Praseno menjadi raja Madura Barat dinobatkan langsung oleh Sultan Agung pada tanggal 12 Robiul Awal 1045 H atau bertepatan dengan tanggal 23 Desember 1624 M. Prosesi penobatannya, dilakukan bertepatan dengan acara “Grebek Maulid” sebagai acara sakral keagamaan setiap tahun yang selalu diadakan di lingkungan Keraton Surakarta. Biasanya dalam acara ini, dilakukan kirab pusaka kerajaan dan pejabat-pejabat keraton yang akan dipromosikan menjadi penguasa di suatu daerah.
Menurut salah seorang ahli sejarah di Sampang Drs. Ali Daud Bey, di dalam beberapa literatur karya para sejarawan Belanda, di antaranya P. Cakraningrat Vorstenhuis van Madura maupun Madura en Zyn Vorstenhuis, memang banyak disebutkan peristiwa-peristiwa kesejarahan kerajaan Madura Barat yang ada di kota Sampang.
“Berdasarkan literatur itu, akhirnya kita bisa mengetahui bahwa momentum pengangkatan Raden Praseno menjadi raja Mataram di wilayah Madura Barat, merupakan tonggak sejarah berdirinya sebuah pemerintahan pertama yang sah secara yuridis dan de fakto menurut hukum ketatanegaraan. Sehingga, sampai saat ini tanggal 23 Desember tersebut ditetapkan sebagai hari jadi kota Sampang,” jelas Daud.
Selain menjadi raja di Madura Barat, ternyata Cakraningrat I juga diangkat oleh Sultan Agung menjadi panglima perang Kerajaan Mataram, serta diambil menantu dikawinkan dengan seorang putrinya yang bernama Ratu Ibu II. Dalam menjalankan tugas-tugasnya menjadi seorang panglima perang, Cakraningrat I dibantu oleh salah seorang putranya dari selir, yaitu Raden Maluyo yang dikenal sebagai ayah dari Pangeran Tronojoyo.
Ketika Cakraningrat I yang dibantu R. Maluyo sedang melaksanakan tugas dari Sultan Agung guna memerangi pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh Pangeran Alit, kedua panglima perang Mataram ini akhirnya gugur di medan pertempuran dan dimakamkan di makam raja-raja Mataram di Imogiri Surakarta.
Sebagai cucu dari Cakraningrat I atau putra dari Raden Maluyo, menurut urutan garis keturunan kerajaan Madura Barat, sebenarnya Pangeran Tronojoyo paling berhak meneruskan dinasti kerajaan Pangeran Cakraningrat I (kakeknya). Namun, karena ambisi dari Raden Undagan (Cakraningrat II) yang dibantu penuh oleh pihak Belanda saat itu, akhirnya tatanan dinasti Cakraningrat hancur dan Pangeran Tronojoyo tersingkir dari singgasana kerajaan.
Tronojoyo Memberontak, Kerajaan Dipindah ke Bangkalan
Naiknya Raden Undagan menjadi Raja Madura Barat dengan gelar Pangeran Cakraningrat II (1648-1707 M), ternyata tidak lepas dari campur tangan dan politik devide et impera penjajah Belanda. Intervensi Belanda dalam masalah intern pemerintahan Kerajaan Mataram terjadi setelah kekuasaan Sultan Agung Hanyokrokusumo. Setelah Sultan Agung mangkat sekitar abad 16 M, tampuk kekuasaan Kerajaan Mataram ternyata tidak diserahkan kepada menantu kesayangan Sultan yaitu Pangeran Cakraningrat I, tetapi justru diserahkan kepada Sunan Amangkurat I, adik ipar Sultan Agung sendiri. Sedangkan berdasarkan bukti-bukti sejarah, Sunan Amangkurat I ini dikenal sebagai Raja Mataram yang mau bersekutu dengan penjajah Belanda.
Sehingga, ketika Pangeran Cakraningrat I dan Raden Maluyo, ayahanda Pangeran Tronojoyo, gugur di medan pertempuran membela kedaulatan Mataram saat terjadi pemberontakan oleh Pangeran Alit, ternyata Sunan Amangkurat I memilih mengangkat Raden Undagan yang juga paman Pangeran Tronojoyo sebagai raja di Madura Barat dengan gelar Cakraningrat II.
Padahal, bardasarkan garis keturunan kerajaan Madura Barat, sebenarnya Pangeran Tronojoyo paling berhak meneruskan dinasti kerajaan kakeknya Pangeran Cakraningrat I. Namun, karena ambisi kedua kakek dan pamannya ini serta politik devede et impera yang dilakukan Belanda, akhirnya Pangeran Tronojoyo tersingkir dari kursi singgasana Kerajaan Madura Barat.
Akhirnya, Pangeran Tronojoyo pun melakukan pemberontakan. Ini terjadi sekitar tahun 1648 M. Pangeran Cakraningrat II lalu memindahkan kembali istana Kerajaan Madura Barat dari Madegan, Kelurahan Polagan, Sampang ke Desa Pelakaran, Arosbaya, Bangkalan. Karena pada saat itu, pasukan Pangeran Tronojoyo yang tidak mau bekerja sama dengan penjajah Belanda berhasil membumihanguskan istana kerajaan di Madegan.
Sejak saat itulah, sejarah keberadaan dinasti Kerajaan Madura Barat yang pernah mengalami masa kejayaannya di Madegan, Polagan, Sampang mulai memudar, bahkan menghilang. Ditambah lagi, setelah Pangeran Tronojoyo gugur dalam medan pertempuran melawan kebatilan yang dilakukan kedua kakek dan pamannya serta mengusir penjajah Belanda dari bumi pertiwi.
Menurut ahli sejarah Sampang Drs Ali Daud Bey, sampai saat ini silsilah keturunan Pangeran Tronojoyo yang dilahirkan di Kampung Pebabaran Rongtengah, Sampang ini, belum ditemukan. Karena dari buku-buku literatur para pakar sejarawan Belanda, tidak ada satu pun yang menulis tentang perjuangan Pangeran Tronojoyo dalam melakukan pemberontakan mengusir penjajah Belanda dari daerah kekuasaan Mataram.
Setelah abad 17 M, status Kabupaten Sampang menjadi sebuah daerah Kadipaten, dengan Adipatinya masing-masing, R. Temenggung Purbonegoro, R. Ario Meloyokoesuma (Reight Besfuurder Gebheid). Dan sejak 15 Januari 1885 dipimpin oleh Adipati R. Temenggung Ario Koesuma Adiningrat (Zelfstending).
Lalu, berturut-turut dipimpin oleh R. Temenggung Ario Candranegoro, R. Adipati Ario Secodiningrat, R. Ario Suryowinoto, dan R. Temenggung Kartoamiprojo. Sedangkan pada tahun 1929- 1931 M dipimpin oleh R. Ario Sosrowinoto. Sebelum akhirnya pada sekitar tahun 1931-1949 M, Kadipaten Sampang menjadi sebuah daerah Kawedanan di wilayah Kabupaten Pamekasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar